Perguruan tinggi harusnya mendorong
kebebasan berpikir dan berkreatifitas. Agak aneh jika untuk menghubungi dosen harus ada aturan tertulisnya. Terakhir Universitas Indonesia mengeluarkan aturan yang sama.
Haruskah hanya untuk menghubungi dosen
mahasiswa harus didikte? Bahkan ada kampus yang menyiapkan template tentang memulai
dan mengakhiri pembicaraan dengan dosen. Apakah bapak/ibu dosen kita ini tidak
akan bosan menerima pesan dari mahasiswa dengan kalimat pembuka dan penutup
sama semua? Bukankah kampus seharusnya memanusiakan manusia bukan menjadikannya robot?
Tentunya masalah ini tidak sesederhana itu. Di satu sisi kita tentunya harus tetap menjaga norma kesopanan yang sudah menjadi bagian budaya negeri ini. Norma-norma ini sekarang dianggap mulai luntur. Mahasiswa suka seenaknya menghubungi dosen mereka, yang notabenenya juga orangtua mereka di kampus.
Namun, disisi lain tentunya kampus juga harus inovatif menyiasati tingkah laku mahasiswa "jaman now" ini. Solusi yang diberikan sekarang tak lebih hanya sekedar solusi instan. Menurut saya kampus hanya melihat pokok permasalahan dari satu sisi. Kampus juga tidak belajar dari para dosen yang mampu membangun komunikasi yang baik dengan mahasiswanya tanpa harus didikte. Hanya fokus kepada sebagian dosen yang merasa tak terima dengan sikap komunikasi mahasiswa.
Kasihan mereka yang punya semangat belajar, terkadang tak bisa menunggu. Namun, harus dibatasi ruang geraknya, dihukum
tidak sopan karena tak bisa menahan diri untuk berdiskusi dengan dosen mereka. Kenapa solusinya harus dibuatkan aturan?
Bukankah komunikasi antara tenaga pendidik dan mahasiswa perlu didorong lebih intensif dan dijembatani lebih baik? Sekarang malah terkesan dipersulit dengan adanya aturan tertulis. Bagaimana pun juga, selain sebagai orang tua, dosen juga teman berdiskusi dan kawan berkolaborasi bagi mahasiswa.
Hal ini sudah ada dosen yang berhasil
melakukan. Komunikasinya bisa kapan saja tanpa dibatasi. Jika memang dosennya terlalu banyak
berurusan dengan mahasiswa setiap harinya. Apalagi ada dosen yang berhadapan dengan ratusan
mahasiswa per hari. Bukankah bisa dibikinkan grup
WhatsApp, misalnya per mata kuliah dan juga per grup penelitian. Jika kuota
tidak mencukupi, Telegram bisa menjadi solusi.
Ketika ada mahasiswa yang bertanya, bisa lewat grup tersebut. Ini bisa ditekankan dari awal kuliah. Mahasiswa bisa saling membantu menjawab pertanyaan temannya, bapak/ibu kita tidak harus mengulang menjawab pertanyaan yang sama, tidak harus berurusan dengan mahasiswa satu per satu —jika merasa repot.
Selain mahasiswa, dosen juga diuntungkan. Waktu dosen tidak hanya tersita untuk menghadapi mahasiswa satu per satu. Apalagi terkadang pertanyaan yang ditanya kebanyakan sama. Saya yakin, sudah ada dosen yang mempraktekkan ini. Mengapa kampus tak belajar dari mereka dan dijadikan lebih familiar dikalangan dosen dan mahasiswa?
Ketika ada mahasiswa yang bertanya, bisa lewat grup tersebut. Ini bisa ditekankan dari awal kuliah. Mahasiswa bisa saling membantu menjawab pertanyaan temannya, bapak/ibu kita tidak harus mengulang menjawab pertanyaan yang sama, tidak harus berurusan dengan mahasiswa satu per satu —jika merasa repot.
Selain mahasiswa, dosen juga diuntungkan. Waktu dosen tidak hanya tersita untuk menghadapi mahasiswa satu per satu. Apalagi terkadang pertanyaan yang ditanya kebanyakan sama. Saya yakin, sudah ada dosen yang mempraktekkan ini. Mengapa kampus tak belajar dari mereka dan dijadikan lebih familiar dikalangan dosen dan mahasiswa?
Tulisan Bapak Dr Romi Satria Wahono ini
mungkin bisa dijadikan pelajaran:
http://romisatriawahono.net/2013/12/12/metode-mengelola-penelitian-tesis-mahasiswa/
http://romisatriawahono.net/2013/12/12/metode-mengelola-penelitian-tesis-mahasiswa/
Tulisan tersebut membahas metode beliau
membangun komunikasi dalam membimbing penelitian mahasiswa. Namun, menurut
saya, sebagian metoda tersebut bisa dipakai untuk mengelola mahasiswa di mata kuliah.
Bisa juga dilakukan penyesuaian. Disini komunikasi bisa terjadi kapan pun tanpa
dibikin rumit.
Kalau seandainya dosennya kurang mengerti
dengan masalah teknologi seperti ini. Maka, dosen seharusnya diberikan pelatihan.
Kampus seharusnya memikirkan inovasi-inovasi untuk memudahkan komunikasi antara
mahasiswa dengan dosen mereka. Kampus seharusnya berpikir lebih kreatif dalam
mengatasi mahasiwa jaman “now”, yang terkesan tidak tahu cara berkomunikasi
dengan dosen mereka.
Kalau kurang puas dengan teknologi yang
ada, bisa dikembangkan sendiri. Jika terlalu sulit dan memakan waktu,
programnya bisa dijadikan open source dan dikembangkan bersama. UI punya
jurusan komputer kelas atas, masa tidak bisa? Kampus lain mungkin juga bisa
berpartisipasi.
Sehingga mereka yang ingin bertanya pukul 12 malam,
diberi ruang untuk bertanya. Walaupun mungkin mereka harus menunggu jawaban
sampai besok pagi. Tapi setidaknya bisa menanyakan pertanyaannya sebelum mereka
lupa dengan pertanyaannya. Lewat WA maupun e-mail ini mungkin. Karena ini bukan
panggilan telpon yang harus dijawab saat itu juga.
Orang-orang seperti ini punya potensi.
Bukannya dicap tidak beretika dan dibatasi ruang geraknya. Tapi, dipikirkan
bagaimana mereka diakomodasi tanpa membuat mereka terkesan tidak beretika. Yang
seharusnya dikhawatirkan adalah mereka yang malas bertanya dan menerima saja
keadaan.
Bukannya karena mahasiswa berada pada
posisi paling lemah, malah mereka yang didikte dan dibikinkan aturan-aturan
yang malah terkesan membatasi kreatifitas mereka.
Bagi saya, ini tak lebih dari malasnya kita
berpikir. Sehingga untuk menghadapi satu permasalahan, yang dipakai cara-cara
konvensional dengan menekan mereka yang lemah. Cara ini mudah memang. Sementara
solusi alternatif terkadang membutuhkan try and error; butuh evaluasi,
perbaikan, dan pengembangan. Rumit memang. Tapi, bukankah itu gunanya perguruan
tinggi?
Pendidikan itu membebaskan. Bukan berarti bebas
sebebas-bebasnya. Tapi tidak berarti juga mereka yang berada pada posisi paling
lemah dijadikan sasaran peluru. Kampus
seharusnya adaptif dengan perkembangan zaman. Itu kalau memang kita ingin
bersaing di kancah global.
Dear Kampus Jaman Now, Jangan Dikte Mahasiswamu
Reviewed by Tikus
on
Desember 23, 2017
Rating:
Reviewed by Tikus
on
Desember 23, 2017
Rating:
